masukkan script iklan disini
Memiliki nama Muhammad Husain bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Muhammad Husain bin al-Mirza Ali Ashghar Syaikh al-Islam At-Thabathaba’i at-Tibriz al-Qadhi. Beliau kerap disapa dengan sebutan At-Thabathaba’i yang merupakan laqab (julukan) bagi salah satu kakeknya bernama Ibrahim At-Thabathaba’i bin Ismail ad-Dibaji.
Konon, menurut salah satu pendapat, laqab tersebut diberikan kepadanya karena beliau adalah penghulu para sayyid (keturunan Nabi Muhammad Saw).
At-Thabathaba’i lahir pada 29 Dzulhijjah 1321 H/1903 M di desa Shadegan, kota Tabriz, salah satu kota yang terletak di sebelah barat laut Iran. Beliau lahir dari lingkungan keluarga ulama intelektual dan religius yang selama 14 generasi melahirkan ulama-ulama Islam terkemuka, termasuk At-Thabathaba’i sendiri.
Ibunya meninggal ketika beliau masih berumur lima tahun, empat tahun kemudian ayahnya juga meninggal. Setelah itu, beliau dan adik perempuannya diserahkan kepada seorang pelayan oleh wali yang mengurus harta peninggalan ayahnya.
At-Thabathaba’i tumbuh dalam lingkungan yang dikenal dengan sebutan hawzah, yaitu sebuah lembaga pendidikan yang berupa halaqah-halaqah (semacam pengajian/majelis) keilmuan yang pada waktu itu masih dilaksanakan di masjid-masjid.
Seiring berjalannya waktu, kemudian muncullah hawzah-hawzah lain seperti di Najaf, Karbala, Qum, Tibriz, Masyhad, Ashfihan, Samira, dan lain-lain.
Secara umum, perjalanan keilmuan At-Thabathaba’i ditempuh pada tiga tempat yaitu Tibriz, Najaf dan Qum. Beberapa guru At-Thabathaba’i ketika di Tibriz dalam bidang fikih dan ushul fikih adalah Syaikh Muhammad Husein an-Na’ini dan Muhammad Husein al-Kambani, dalam bidang filsafat adalah Sayyid Husein al-Badkubi, dalam bidang Matematika adalah Abi al-Qasim al-Khawanasry dan dalam bidang akhlak adalah al-Hajj Mirza Ali al-Qadhi.
Setelah dari Tibriz, pada tahun 1343 H/1925 M, At-Thabathaba’i melanjutkan perjalanannya keilmuannya ke Najaf selama 10 tahun lamanya, tepatnya di Universitas Najaf, sebuah perguruan tinggi Syi’ah terbesar pada waktu itu.
Beliau mempelajari dan mendalami berbagai macam ilmu; naqliyah dan aqliyah, terutama fiqih dan filsafat. Di situ lah kematangan intelektualnya semakin terlihat, terlebih dalam dua bidang ilmu tersebut.
Setelah dari Najaf, pada tahun 1353 H/1935 M, At-Thabathaba’i kembali ke Tibriz. Kehidupan beliau berubah drastis dari tekun dan fokus mendalami ilmu terbagi dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Beliau banyak menghabiskan waktunya untuk bertani dan merasakannya sebagai “masa kekeringan spiritual dalam hidupnya”, karena jauh dari kegiatan keilmuan dan pemikiran.
Akan tetapi, bukan berarti beliau sama sekali meninggalkan tradisi keilmuan dan mengajarnya. Pada beberapa waktu senggangnya, beliau masih menyempatkan diri untuk menulis dan juga mengajar beberapa murid.
Lebih lanjut, pada tahun 1365 H/1945 M, At-Thabathaba’i kembali berpindah dari Tibriz ke Qum, kota yang hingga sekarang menjadi pusat kegiatan agama dan intelektual. Di Qum beliau tidak hanya meneruskan kajian keilmuannya, tapi juga semakin intensif mengajar, terutama dalam bidang filsafat dan tafsir Al-Qur’an.
Selain itu, beliau juga mulai terkenal sebagai ulama yang majelis ilmunya banyak dihadiri oleh orang-orang yang kelak dikenal di Iran dan juga dihadiri oleh para ilmuan barat seperti Henry Corbin, seorang Islamolog Prancis.
At-Thabathaba’i wafat pada tahun 1402 H/1981 M dengan meninggalkan banyak karya dalam berbagai bidang keilmuan. Di samping karya monumentalnya berjudul al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, beliau juga mempunyai karya-karya lain di antaranya:
Ushul’i Falsafah wa Rawish’i Ri’alism(Prinsip-prinsip filsafat dan Metode Realisme), Hasyiyah bar Asfar (Catatan pinggir buku Asfar), Mushahabat ba Ustad Kurban (Dialog dengan Profesor Corbin), Risalah dar Hukumati Islami(Risalah tentang Pemerintahan Islami), Hasyiyah’i Kifayah (Catatan pinggir buku al-Kifayah), Risalah dar Quwwah wa fi’l(Risalah tentang potensialitas dan aktualitas), Risalah dar Ithbat az-Zat(Risalah tentang bukti Esensi Ilahi), Risalah dar Syifat (Risalah tentang sifat Ilahi), Risalah dar Af’al (Risalah tentang tindakan-tindakan Ilahi), Risalah dar Wasa’ith (Risalah tentang pertengahan-pertengahan).
Selain itu, beliau juga menulis beberapa kitab lain, seperti:
Risalah dar Insan Qabl al-Dunya (Risalah tentang manusia sebelum dunia),Risalah dar Insan fi al-Dunya (Risalah tentang manusia di dunia), Risalah dar Insan Ba’d al-Dunya (Risalah tentang manusia setelah dunia), Risalah dar Nubuwwat (Risalah tentang Kenabian), Risalah dar Walayat (Risalah tentang Inisiasi), Risalah dar Musytaqqat(Risalah tentang Derivat), Risalah dar Burhan (Risalah tentang pembuktian), Risalah dar Mughalathah (Risalah tentang Sophisme), Risalah dar Thalil(Risalah tentang analisa), Risalah dar Tarkib (Risalah tentang sintesa), Risalah dar I’tibarat (Risalah tentang Iktibar), Risalah dar bu nubuwwat wa Manamat ( Risalah tentang Kenabian dan Impian), Manzhumah dar Rasmi Khathth’i Nasta’liq (Syair tentang metode penulisan gaya Kaligrafi Nasta’liq), Ali wa’l Falsasafat al-Ilahiyah(‘Ali dan Metafisika), Qur’an dar Islam(Al-Qur’an dan Islam), Syi’ah dar Islam(Islam Syi’ah).
Pada akhirnya, beliau mendapatkan pujian dari para ulama. S.H Nasr misalnya yang mengatakan bahwa At-Thabathaba’i adalah seorang filosof, teolog, dan sufi yang dalam dirinya kerendahan hati seorang sufi dan kemampuan analisis intelektual terpadu. Bahkan, beliau menyebut At-Thabathaba’i sebagai “Sang Alim dari Tibriz”.
Ulama lain bernama Reza Ustadzi mengatakan bahwa At-Thabathaba’i adalah salah seorang guru langka yang memperkanalkan muridnya kepada ilham kehidupan, pancaran ilmu, dan pada saat yang bersamaan melatih mereka dengan cahaya cinta dan penyucian diri.
Wallahu A’lam.