-->

Iklan

Aksi 812 Menonak ICERD Di Malaysia Dan Efeknya Bagi Islam Kita

Friday, December 14, 2018, December 14, 2018 WIB Last Updated 2019-04-26T02:51:50Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini


 

Aksi kerumunan massa tampaknya menjadi trend di kalangan umat Islam saat ini. Setelah di Indonesia aksi besar-besaran di Monas terjadi beberapa kali, pola menurunkan kerumunan yang banyak mulai diadopsi di negara tetangga, Malaysia. Aksi yang diadakan pada tanggal 8 Desember 2018 (Kerumunan 812) itu merupakan aksi demo besar pertama yang terjadi pasca dilantiknya Mahathir Mohammad sebagai perdana menteri Malaysia.

Agenda demonstrasi besar-besaran itu hampir sama dengan gerakan massa yang ada di Indonesia, yaitu ketakutan terpinggirkannya umat Islam dari ‘tanahnya sendiri’. Jika di Indonesia agendanya sudah pada taraf bela Islam yang dianggap direpresi, kerumunan massa di Malaysia meyakini apa yang dilakukan adalah membela agama Islam dan juga etnis melayu dari peminggiran.

Ada beberapa kesamaan pola aksi di Indonesia dan Malaysia. Salah satu yang paling kentara adalah penunggangan aksi tersebut oleh kelompok oposisi, termasuk partai bernafas Islam yang tidak mendapat tempat di parlemen. Kehadiran Prabowo Subianto (212) dan Najib Razak (812) di aksi tersebut seolah ingin menunjukkan pada pemerintah bahwa oposisi memiliki basis kekuatan yang cukup besar. Karenanya, kerumunan-kerumunan ini bisa kita sebut sebagai gerakan populis dibandingkan sebagai sebuah gerakan ideologis.

Aksi di Malaysia cukup menarik karena agendanya adalah menolak ratifikasi International Convention on Elimination of The Racial Discrimination (ICERD). Padahal, dari 190-an anggota PBB, ICERD telah disepakati oleh 88 negara anggota, termasuk di Indonesia. Sejarah Indonesia menerima ICERD malah sudah lama, tepatnya pada bulan Juni 1999 di masa pemerintahan presiden BJ Habibie.

Jika kita memahami ICERD, sebenarnya tidak ada yang perlu diperdebatkan. Di pasal 1 tertulis seperti ini:
“…segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pengutamaan berdasarkan ras, warna kulit, keturunan atau kebangsaan atau sukubangsa, yang mempunyai maksud atau dampak meniadakan atau merusak pengakuan, pencapaian atau pelaksanaan, atas dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang kehidupan masyarakat yang lain”
Semangat yang dibawa oleh ICERD adalah semangat persamaan.

Hal ini justru menegaskan bahwa negara-negara yang menyepakati konvensi ini adalah negara yang sangat terbuka dan berdaya saing. Namun mengapa di Malaysia langkah maju ini justru ditolak? Entahlah.

Yang jelas, isu yang dimainkan oleh kerumunan aksi adalah anti-Islam, tuduhan yang juga digaungkan di aksi-aksi serupa yang terjadi di Indonesia.

Islam dan ICMI Pada awal 1990-an peta politik Indonesia berubah, terutama pendekatan presiden Soeharto kepada kelompok muslim. Sebelum tahun 1990, pemerintahan Orde Baru membonsai politik kelompok Islam dengan menempatkan kelompok muslim pada satu partai yang selalu digembosi. Namun Orba mulai memandang kelompok Islam sebagai salah satu kekuatan untuk memberinya dukungan. Karenanya, pada tahun 1990 ia mendorong para cendikiawan muslim untuk mendirikan sebuah wadah perkumpulan yang kemudian diberi nama ICMI.

Salah satu fokus kerja ICMI adalah membawa citra umat Islam yang awalnya dianggap sebagai kaum pinggiran menjadi kelompok yang mampu membawa perubahan. Semangat yang mereka bawa adalah bagaimana agar umat muslim yang memiliki pedoman hidup berupa Alquran dan Hadis menjadi umat yang progresif. Islam semestinya bukan hanya ritus, melainkan spirit kemajuan yang bisa membawa kehidupan ini lebih baik.

BJ Habibie memimpin ICMI selama dua periode, salah satunya ketika ia menjadi orang nomor satu di negara ini. Di masa Habibie menjadi presiden inilah ICERD diratifikasi di Indonesia. Ratifikasi konvensi PBB ini merupakan langkah maju dalam demokrasi di Indonesia di mana kebebasan berpendapat dan berekspresi yang selama rezim Orde Baru ditutup rapat, perlahan-lahan dibuka kerannya. Sebagai cendekiawan ICMI, Habibie dan juga lainnya ingin menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang bersepakat dengan segala bentuk diskriminasi.

Semangat yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW adalah semangat pembebasan. Di masa Rasulullah inilah perbudakan perlahan mulai dihapus. Diskriminasi pada kelompok lain yang berbeda agama dan ras juga dicegah dengan menyepakati sebuah konstitusi tertulis pertama umat manusia bernama Piagam Madinah. Pun dalam kontribusi dengan peradaban, Habibie membuktikan bahwa umat Islam bisa berjaya melalui ilmu pengetahuan.

Ia adalah sosok yang memiliki banyak hak paten dalam industri penerbangan yang karyanya digunakan oleh perusahaan-perusahaan raksasa seperti Boeing dan Airbus. Kiat Habibie ini kurang lebih ingin mengulang prestasi ulama terdahulu yang membawa kejayaan umat Islam melalui jalur ilmu pengetahuan. Makanya, ketika pesawat N-250 berhasil mengudara, banyak yang mengatakan bahwa yang diterbangkan oleh presiden ketiga Indonesia itu adalah Islam. Islam yang dulu dianggap sebagai kelompok terbelakang, ternyata bisa menciptakan teknologi paling mutakhir.

Untung saja di Indonesia kita memiliki banyak cendikiawan muslim progresif yang membawa Islam bukan sekedar gerakan populis, tetapi lebih jauh adalah agama yang menginspirasi. Era ini sudah dimulai dua dekade yang lalu oleh para tokoh muslim yang begitu luar biasa.

Apakah Islam di Indonesia hari ini semakin progresif atau justru terseret arus balik kemunduran? Kita sendiri yang mampu menjawabnya. Wallahua’lam.



Komentar

Tampilkan

Terkini

NamaLabel

+